It's Always A Rising Action
Memandang Layar
Rabu, 22 Juni 2011
Selasa, 24 Mei 2011
Karimun Jawa untuk Memulai Hidup yang Semua Orang Bilang Harus Baru
Eskapisme memang nyandu untuk sebagian besar orang. Eskapisme dari apapun, bahkan hidup dan diri sendiri. Mungkin itu alasan terkuatku berlibur walau sangat tak tepat waktu. Lulus akhir April kemarin praktis membuatku harus kembali masuk ke ranah tak mengenakkan semua orang; Mencari kepastian hidup alias status baru. Menaruh embel2 di setiap biography dan harus menjinjing identitas sosial itu kemana-mana; pekerjaan.
Berkat seorang teman, aku bisa menghasilkan sedikit uang modal liburanku. Itu saja. Dan berkat seorang teman, aku bisa pergi ke pulau jauh. Mengasingkan diri sejenak dari diriku yang lama demi ada cerita baru. Aku bukan tipe petualang namun senang melakukannya. DI pulau yang harus ditempuh empat jam dengan kapal cepat dari Semarang itu memungkinkanku untuk hanya menikmati hidup. Menikmati apapun yang disajikan di depanku dan bersenang-senang. Dua hari. Tak lebih.
Aku senang akhirnya bisa ke sana. Membuatku menyadari satu hal. Melihat teman-teman yang sibuk memilih pekerjaan sesuai hati nurani dan mimpi, aku bingung karena tetap tak memilih keduanya. Setiap kali orang bertanya, aku menjawab. “Apa saja.” Itu bukan jawaban malas, namun memang hanya sejauh itu pemikiranku. Apa
saja. Berjalan dan bercerita dengan teman seperjalananku membuatku tersadar. Pekerjaan bukanlah hidupmu dan hidup bukanlah melulu pekerjaan. Mungkin aku akan memulai seperti temanku, mengerjakan apapapun agar bisa kembali menikmati hari-hari singkat beberapa kali setahun seperti yang kami lakukan di pulau itu. Seperti biasa, setelah liburan, rencana-rencana baru dimulai; tempat yang lebih jauh, lebih indah, lebih menantang. Untuk melakukan semua itu pastinya aku memerlukan tabungan. Dan untuk itu aku bekerja. Yah, sesederhana itu dulu. Banal mungkin, tapi semua tetap butuh alasan.
Sedikit tentang tempat yang saya kunjungi. Yang paling mengherankan dari tempat ini adalah, seperti rumah saya yang jauh di anta baranta, mengapa mereka tetap bertahan di pulau yang listrik hanya hidup pada malam hari dan tanah yang habis dua jam dikelilingi? Teman-temanku semuanya ke ibukota, beberapa beranggapan uang menumpuk di sana. Namun, pertanyaan selanjutnya apakah penghidupan yang layak juga? Aku sempat tergoda sebenarnya namun lagi-lagi karena pulau kecil ini aku jadi berpikir, mungkin harus mengikut jawaban sederhana orang-orang kampus, “lumbung berasnya di sini” setiap kali bertanya bagaimana mereka sampai ke pelosok2 hanya untuk tinggal. Aku akan melakukan hal yang serupa. Memilih bukan hakku untuk saat ini, berusaha mendapatkan dan akhirnya bersyukur adalah priviledge terjauhku. Jadi mari.....
Sabtu, 19 Maret 2011
Rasa hangat yang janggal di balik pintu
Kita duduk berhadapan namun tak saling pandang
Aku berpeluh dengan puisi
Kau sibuk menekuri mimpi-mimpi
Abjad-abjad hidup kemarin yang belum selesai dieja dan dilafalkan
Rasa hangat yang janggal di balik pintu
Menyertai kita yang tak kunjung bergeser dari semula
Menghampiri nyaman dengan jarak seperti ini
Meneduhkan cemas dengan ketetapan di masing-masing hati
Namun, aku tetap ingin membagi sedikit adaku padamu
Di antara udara dingin dan malam yang kian surut
Di tengah-tengah tawa orang-orang asing di antara kita
Di selipan luka yang belum sempat kering sejak kemarin
Minggu, 30 Januari 2011
Pagi ini
Rabu, 26 Januari 2011
Sesak Nafas
Hari ini aku sesak nafas. Dadaku berat sekali hingga tak bisa berbuat apa-apa kecuali menghela nafas panjang dan berdoa untuk nafas selanjutnya. Sampai malam, aku memutuskan bertemu seseorang. Seorang teman, yang sesak nafasnya pernah ku dengar ceritanya atau paling tidak pernah coba ku mengerti.
Aku bercerita panjang tentang sesak nafasku dan mengapa dadaku sangat bermasalah akhir-akhir ini hingga tak bisa melakukan apa-apa. Jujur, aku mengharap simpati. Sesalah apapun aku atas penyebab sesak nafas itu, aku berharap mendapat simpati. Namun, ia hanya menghardikku. Sangat masuk akal semua yang ia katakan. Tak sepatah pun bisa kusangga. Benar, aku tak menyiapkan oksigen untuk hidungku karena sibuk mempertanyakan semuanya. Tapi lagi-lagi, aku merasa masih punya rasa. Tadinya aku ingin menumpahkan nafasku dalam bentuk bulir-bulir air. Berharap ia memaklumi. Tapi tidak, kata-katanya menghentikanku. Hanya cerita soal sesak nafas yang keluar dari mulutku.
Ketika jalan pulang. Aku berpikir panjang. Bahkan tempat istimewa sebagai teman itu tak lagi aku punyai, aku terima. Kalau sakit ini satu-satunya yang bisa membuatku bernafas walau mengeluarkan api, ku telan mentah-mentah. Apapun itu.
KU sadari, sesak nafas itu tak berhenti hari ini. Dan
Aku siap. Melangkah. Sendiri.
Minggu, 16 Januari 2011
Saat Ini
Hujan masih menyimpan bau debu, jauh di setiap rintiknya menyentuh tanah
Itu saat aku paling merindui kata “selamat pagi” dari mulutmu
Kalimat sederhana yang menandakan aku tak mengalami hari ini sendiri
“Mari sarapan” lanjutmu sambil berhenti di depan hatiku
Sibuk tersenyum dan mengetuk
Namun sayang, aku tidur sangat larut
Tak punya cukup tenaga untuk menuju pintu dan menyaut
Namun, belum jauh “Makan siang, mungkin” ucapmu dalam hati
Namun tetap, kita punya mimpi sendiri-sendiri
Di mana kata Tempat singgah dan persimpangan itu belum sempat ada
Marilah, aku menyisakan tempat duduk di teras rumahku
Walau terkadang tak sempat bicara berdua
Paling tidak kita tahu
Tempat itu akan selamanya di situ dan untukmu
Rabu, 05 Januari 2011
Resolusi: Tidak Berresolusi
Sejak tahun kemarin, saya sudah berhenti membuat resolusi setiap tahun baru. Alasannya sederhana, semakin rinci saya berencana, semakin jauh rencana itu dari realisasinya. Alasanya gampang, saya nyaris tak melakukan apa-apa tahun ini kecuali berdiam di tempat. Tahun kemarin saya merasa semua usaha saya sia-sia. Bertahun-tahun saya mempertahankan apa yang harus saya pertahankan, dirusak begitu saja oleh seseorang yang seharusnya membantu saya mempertahankan hal yang sudah ada. Saya remuk dan menghilang dari saya yang dulu, mengawang-awang di atas, tak tahu di mana, kapan, dan bagaimana harus berpijak.
Penghancur impian saya itu tak bertanya mengapa. Ia hanya berdoa semoga saya berhenti marah-marah, pulang ke diri saya yang dulu. Namun, satu tahun saya tak kemana-kemana. Tak menjauh ataupun mendekat.
Tahun ini, saya tak bisa bilang saya sudah punya diri yang baru atau kembali ke diri yang lama. Saya masih tak tahu di mana saya dan akan saya apakan. Namun, karena alasan-alasan yang praktis, saya akan menghentikan apa yang dulu saya perbuat. Saya tidak akan membuat resolusi melainkan menyelesaikan apa yang harus diselesaikan. Menunaikan tanggung jawab dan tugas-tugas dari fungsi dan identitas yang saya emban ketika lahir ke dunia. “Mau jadi apa?” Saya tak tahu dan tak berpikir akan menemukan apa-apa tahun ini.
Hanya satu yang saya rasakan, bosan tak terhingga. Mungkin ini trigger satu-satunya kenapa saya ingin melakukan hal yang berbeda. Sakitpun tetap ada batasnya.
12:25