Memandang Layar

need to be written

Senin, 20 Desember 2010

Ini Tentang Rasa Syukur

Dulu saya membanggakan rasa itu karena saya merasa memilikinya. Pernah suatu ketika, saya berkata pada seorang teman, “ini cukup. Saya tidak perlu minta apa-apa lagi sama Tuhan.” Bukan hanya kata-kata, tapi itu yang saya rasakan.

Namun, akhir-akhir ini saya kembali merenungkan kalimat itu dan mendapati bahwa saya bersyukur karena memang saya mendapatkan semua yang saya mau. Buktinya, sekarang, ketika semua hal menjadi tak lagi sesuai keinginan saya, kata syukur tak lagi jadi agenda harian. Ia menguap bersama kekecewaan demi kekecewaan saya selama tiga tahun ini. Saya ternyata belum menguasai ilmu bersyukur seperti yang dahulu sering saya banggakan dalam hati. Saat ini sebenarnya saat yang tepat untuk menguji rasa langka itu. Apakah saya benar-benar mempunyainya; yaitu di saat saya tak mendapatkan apapun yang saya minta.

Akhir-akhir ini saya begitu pemarah, begitu pencemburu. Cemburu akan keberhasilan orang lain, cemburu akan hidup orang lain hingga merambat ke cara saya memandang orang lain. Dulu saya begitu percaya bahwa setiap kebaikan pasti ada ganjarannya. Namun, tiga tahun ini saya benar-benar dicoba karena walaupun saya melakukan hal yang baik, saya jarang mendapatkan hal itu. Hingga akhirnya, saya tak terlalu berniat menolong orang lain.

Beberapa hari yang lalu saya menulis status di sebuah jejaring sosial, “kalo gw selalu repot mikirin orang, kapan orang mau repot mikirin gw?” Itu tanda marah dan kecewa saya, benar-benar terhadap semua orang. Mulai hari itu, atas nama emosi, saya mulai malas membalas sms dengan nada menolong atau menuruti permintaan-permintaan kecil orang-orang di sekitar saya. Saya menikmati diri sebagai orang yang egois. Beberapa waktu, terasa sangat menyenangkan. Saya melakukan apa yang saya suka tanpa harus memikirkan orang lain.

Namun, malam ini saya tersadar. Setelah menonton sebuah serial dengan tema natal yang intinya adalah kebaikan hati. Saya merindukan diri saya yang dulu. Merindukan kebaikan-kebaikan membabibuta pada orang-orang yang bahkan tak terlalu peduli terhadap saya karena saya memang ingin melakukannya. Saya mulai memaksa diri bahwa batasan kebaikan itu memang tak ada. Bahwa sesungguhnya menolong orang lain sebenarnya adalah kemampuan yang harus saya syukuri!

Selasa, 14 Desember 2010

Senin, 25 Oktober 2010

TEBAK-TEBAK BUAH MANGGIS

Sejak ibuku rajin sekali mengingatkan agar aku memikirkan soal pernikan, tema atau fase paling ruwet dalam hidup ini, aku jadi ikutan sibuk memikirkannya. Beberapa saat setelah pulang kampung (waktu yang paling tepat digunakan ibuku untuk menterorku secara intensif), aku ber-ym ria dengan seorang teman. “Gw bakal cari pacar. Beneran ini!” Awalnya dia tertawa, ia tahu aku tak pernah ingin berepot2 dengan hal satu ini. Tapi akhirnya, ia bersimpati. “Gitu dong, dari dulu kek!” Walau niatku tak sekuat kalimat di YM itu, paling tidak aku lebih sering membicarakannya (emang ngaruh ya?!)

Setelah melihat tingkah pola orang-orang di sekitarku berjibaku dengan urusan mencari jodoh, aku menemukan ada dua pola. Pertama cari jodoh independen. Pasca era Kartini atau Siti Nurbaya, cara ini populer di gunakan. Sebagian menganggap ini salah satu manifestasi kemandirian atau emansipasi, namun bagi yang lain, memang tidak kepikiran cara lain. Indonesia, biarpun mayoritas Islam, istilah pacaran tidak terlalu dipersoalkan. Bahkan, ada yang memulainya dari usia dini. Namun, pacaran dalam rangka menikah baru akan dijalani serius oleh perempuan dan laki-laki setelah umur mereka 20an. Biasanya, orang tua akan menuntut tingkatan sempurna dalam hidup kita; lulus kuliah, cari kerja, menikah.

Mencari pasangan dengan cara ini bisa dibilang sangat tricky. Temanku yang satu, sudah pacaran lima tahun, belum juga ingin menikah. Sedangkan yang lain, baru pacaran setahun, sudah siap lahir batin. Semua kembali ke pribadi masing2, masalah siap atau tidak siap dan masalah apa sebenarnya pernikahan dan hubungan. Cara yang satu ini, semua didasarkan oleh ketertarikan pada lawan jenis atau disebut cinta. Cinta diandalkan dan dieksploitasi bisa mengatasi segala hal, termasuk mengatasi perbedaan keduanya. Terkadang proses pacaran tidak berdasarkan checklist. Seperti ungkapan basi, “Kalo cinta sudah melekat, tahi kucing rasa coklat.” Tak satapun mau mengaku memang begitu adanya (paling tidak teman-teman saya) tapi bila ada kasus orang gantung diri karna patah hati, atau istri yang rela digebukin suaminya, atau suami yang membunuh selingkuhan istrinya, alasan untuk membenarkan semua peristiwa itu hanya satu: CINTA.

Pasangan-pasangan yang didasarkan pada rasa cinta atau segala –philia ini menikah ketika si cowok meminta atau orang tua mendesak. Saya kurang tahu bagaimana kata menikah tercetus dari mulut masing2, seperti di film-film Hollywood kah? Atau melalui pembicaraan serius keduanya. Proses ini umum sekali terjadi. Konsekuensi dari cara ini adalah, seperti kemerdekaan yang lain. Tanggung jawab ada pada diri sendiri.

Cara kedua adalah perjodohan. Bagi sebagian orang ini dianggap kuno, konservatif, bahkan jahat. Perjodohan biasanya dilakukan oleh keluarga religius atau tradisional yang masih memegang nilai-nilai budaya dan kebiasaan masing-masing. Namun, jangan salah perjodohan juga terkadang di lakukan oleh orang modern kota. Perjodohan yang seperti ini tentu tidak seperti Siti Nurbaya, tanpa paksaan. Orang tua atau saudara hanya sebagai penghubung berkenalan. Keputusan tetap di tangan masing-masing. Bila berdasarkan agama, ini agak berbeda, terutama Islam.

Dahulu, ketika mendengar perjodohan dan proposal perkawinan, saya bergidik. Saya yang baru belajar feminisme tentu menolak mentah-mentah. Alasannya gampang, “bagaimana bisa menikah dengan orang yang hanya ketemu 3 kali? Yang bertahun-tahun pacaran aja belum tentu mengerti karakter masing-masing.” Namun, setelah mendengar curhatan teman-teman yang dijodohkan, saya memahami ini hanya proses. Teman saya itu memang tak ingin berpacaran karena Islam tak mengenal kata berpacaran. Kalaupun ia ingin menikah, hanya akan ada proses taaruf (perkenalan). Namun, tetap keputusan di tangan teman saya.

Mencari pasangan dengan cara ini terkadang terlihat lebih masuk akal. Tanpa cinta atau kedekatan, orang-orang bisa berpikir jernih mempertimbangkan seseorang secara objektif. Toh dalam pernikahan, yang kita hadapi sehari2 masalah itu-itu juga. Yang dilihat saat proses pertama adalah pendidikan, agama, keluarga, dan fisik. Ini gampang dinilai dari luar dan gampang di kroscek. Setelah cocok, keduanya akan bertemu dan ngobrol untuk pengenalan karakter. Di sini, proses mencari pasangan bukan lagi masalah hati tapi lebih masalah praktis yang sistematis. Bila cocok, akan ada pertemuan selanjutnya, bila tidak bisa dibatalkan. Dan pastinya, tak ada heart-feeling, toh baru sekali bertemu.

Bila dibilang, ini seperti membeli kucing dalam karung malah salah sekali. Orang tua sebagai agen perjodohan sangat selektif (namun tetap, selera orang tua tak bisa disamakan dengan selera anak muda). Saya pikir orang yang ingin menjalani ini percaya bahwa cinta tumbuh berdasarkan proses. Pandangan pertama hanyalah ketertarikan fisik, selanjutnya tergantung bagaimana keduanya menjalani bersama. Masalah paling riskan dari hal ini adalah pengenalan karakter. Layaknya sebuah film, karakter baru bisa dikenal ketika orang beraksi terhadap apa yang terjadi. Namun, ini bisa dieleminir dengan sifat-sifat baik yang dimiliki orang-orang ini.

Tanpa cinta, orang memang bisa sepragmatis ini. Seperti temanku, ketika ada laki-laki yang ingin mencoba proses taaruf, yang ia pikirkan adalah, baik dan buruknya, sampai apakah hobi mereka cocok atau tidak. Ini sama seperti memilih pacar, hanya saja dosisnya dinaikkan sampai empat kali lipat. Proses tahun pertama adalah masa yang sulit, penyesuaian diri. Mencoba memahami isi kepala masing-masing. Namun baiknya, semoga nilai agama membantu. Saya membaca di sebuat hadis, “Bila kamu ingin menikah, menikahlah dengan laki-laki baik, kalaupun dia tidak mencintai kamu, paling tidak dia tidak akan berlaku jahat padamu.” Miris, namun ada benarnya. Tapi apakah baik saja cukup untuk menjalani pernikahan?

Dulu, aku sering bertanya bagaimana bila suatu hari kita tersadar bahwa kita tidak ingin menghabiskan sisa hidup kita pada laki-laki/perempuan tersebut. Mentor saya mengatakan, tidak mungkin kalau menikah karna menginginkan ridho Allah. Saat itu yang saya hanya menggeleng. Tidak masuk akal. Saya bukan malaikat. Namun setelah melihat beberapa teman terlihat bahagia dengan cara ini, saya sadar sesuatu. Hal yang saya pikir tidak mungkin terjadi pada saya, belum tentu tidak bisa terjadi pada orang lain kan?! Tak ada yang salah dengan kedua cara tersebut. Karena terkadang masalahnya bukan bagaimana kita memilih tapi bagaimana sikap kita dengan pilihan kita. Memilih jodoh serupa dengan tebak-tebak buah manggis, berapapun hasilnya, yang terpenting tetap berasa manis.

04:48 pm

Sabtu, 23 Oktober 2010

Friend in Deed is Friend in Need


Hari ini aku terdampar lagi di toko buku yang sama, walau beda lokasi. Kode-kode rak yang sama membingungkannya dan buku-buku yang sama asingnya bagi para penjaga. Aku memilih toko buku ini karena harganya yang bersahabat walau tak sebesar yang ada di Sudirman. Targetku hanya satu, membeli buku puisi. Memenuhi janji pada seorang teman yang habis melahirkan. Celetukannya di facebook membuatku benar-benar ingin menunaikan janjiku. Ku pikir, semua orang akan menghadiahkan segala hal tentang bayi laki-lakinya. Dan aku akan memenuhi keinginan ibunya yang sudah mulai bosan walau baru dua hari berbaring habis melahirkan; meneruskan kegiatan membaca.

Aku memilih-milih mana yang cocok. Tentu tak boleh sembarangan. Walau pikirannya terbuka dan selalu ingin mencoba yang baru, aku harus ingat ia bersama keluarga besarnya. Aku tak mungkin ujug-ujug memberi buku puisi Joko Pinurbo berjudul, “Celana Pacar Kecilku di Bawah Kibaran Sarung” walau bagusnya luar biasa. Keluarganya sangat religius. Aku mencari buku Pinurbo yang lain namun tak kunjung ku temukan. Akhirnya aku menyerah dan bertanya pada penjaga, namun raut mukanya lebih bingung dari aku dan aku harus mengulang judulnya berulang kali. Baiklah, aku menyerah dan memutuskan melanjutkan ke toko lain esok-esok.


Bulak balik toko buku mencari hadiah untuk dia mengingatkanku pada temanku yang lain. Teman lama. Dekat sekali. Dulu. Mengingat ia, mengingatkanku pada drama Harold Pinter yang berjudul Betrayal. Dalam cerita itu, kedua orang yang pernah berselingkuh bertemu lagi dan mengobrol. “Aku merindukan kita.” Kata sang laki-laki. “Kamu merindukan kita yang dulu.” Timpal sang perempuan (begitu kira-kira, aku tak ingat betul). Dari sekian penolakan dan keberjarakannya, aku merasa temanku ini sedang mengatakan hal yang serupa. Walau tak pasti apa penyebabnya, yang pasti aku sudah siap mundur teratur.

Besok adalah acara penting dalam hidupnya. Ia tak mengundang. Memberi tahupun karena tak sengaja. Aku tidak ingin berpikiran buruk karena toh akhirnya ia memberi tahu teman kami yang lain. Namun, tetap tanpa undangan. Aku, yang keburu antusias, menawarkan diri datang karena begitu yakin diharapkan. Sedang teman kami yang lain mengatakan, “aku lebih baik tidak datang.” Saat itu aku mulai ragu lagi ingin datang atau tidak.

Ku pikir semua teman punya harga diri ini; hak untuk dibutuhkan. Ketika hal ini terusik, sesakit apapun, orang akan mulai mengambil langkah mundur. Dan dalam proses itu, tak akan pernah ada pembicaraan atau komunikasi. Semua akan berpikir, teman yang lain masih banyak. Setelah sms saya tadi siang tidak dibalas, aku memutuskan meng-sms lagi. Bertanya kapan acaranya dimulai. Kali ini ia menjawab. Ku pikir, tidak mungkin tidak datang bila sudah bertanya begini.

Selesai mengobrak abrik toko buku kecil itu, aku bergegas ke pusat perbelanjaan karena janji dengan teman lain. Kami sibuk berkeliling karena ia membutuhkan banyak keperluan kampus. Aku dan teman kosnya sibuk mengusulkan dan mengkritisi pilihannya karena ia tampak tak lagi fokus memilih. Kuliah barunya memang menyita waktu dan tenaga. Tak heran, ketika punya waktu belanja, ia sangat terburu2. Selesai tempat itu tutup, kami menuju motor masing-masing dan pulang bahkan tak ada ucapan selamat tinggal. Ketika sampai kos dan membuka twitter, ada ucapan terima kasih darinya untukku dan teman kosnya karena sudah menemaninya belanja. Saat itu aku ingin berkata, seharusnya aku yang berterimakasih karena telah membuat aku lebih berarti dan merasa dibutuhkan.

Bagiku, mungkin begitulah pertemanan. Kadang bukan lagi masalah minta perhatian tapi merasa dibutuhkan lebih penting lagi. Aku memutuskan berangkat ke acara temanku yang satu ini walau aku tak berani membayangkan akan diperlakukan apa aku besok. Ia tak mengatakan datang lebih awal untuk membantunya. Aku tetap akan datang. Memberi satu kesempatan lagi. Bukan untuknya. Tapi untuk ku dan persahabatan kami. Untuk membuktikan apakah kata “dulu” memang sudah patut disematkan atau tidak. Untuk membuktikan teman seperti apa aku kelak.

22/10/2010

11: 54 pm