Memandang Layar

need to be written

Sabtu, 23 Oktober 2010

Friend in Deed is Friend in Need


Hari ini aku terdampar lagi di toko buku yang sama, walau beda lokasi. Kode-kode rak yang sama membingungkannya dan buku-buku yang sama asingnya bagi para penjaga. Aku memilih toko buku ini karena harganya yang bersahabat walau tak sebesar yang ada di Sudirman. Targetku hanya satu, membeli buku puisi. Memenuhi janji pada seorang teman yang habis melahirkan. Celetukannya di facebook membuatku benar-benar ingin menunaikan janjiku. Ku pikir, semua orang akan menghadiahkan segala hal tentang bayi laki-lakinya. Dan aku akan memenuhi keinginan ibunya yang sudah mulai bosan walau baru dua hari berbaring habis melahirkan; meneruskan kegiatan membaca.

Aku memilih-milih mana yang cocok. Tentu tak boleh sembarangan. Walau pikirannya terbuka dan selalu ingin mencoba yang baru, aku harus ingat ia bersama keluarga besarnya. Aku tak mungkin ujug-ujug memberi buku puisi Joko Pinurbo berjudul, “Celana Pacar Kecilku di Bawah Kibaran Sarung” walau bagusnya luar biasa. Keluarganya sangat religius. Aku mencari buku Pinurbo yang lain namun tak kunjung ku temukan. Akhirnya aku menyerah dan bertanya pada penjaga, namun raut mukanya lebih bingung dari aku dan aku harus mengulang judulnya berulang kali. Baiklah, aku menyerah dan memutuskan melanjutkan ke toko lain esok-esok.


Bulak balik toko buku mencari hadiah untuk dia mengingatkanku pada temanku yang lain. Teman lama. Dekat sekali. Dulu. Mengingat ia, mengingatkanku pada drama Harold Pinter yang berjudul Betrayal. Dalam cerita itu, kedua orang yang pernah berselingkuh bertemu lagi dan mengobrol. “Aku merindukan kita.” Kata sang laki-laki. “Kamu merindukan kita yang dulu.” Timpal sang perempuan (begitu kira-kira, aku tak ingat betul). Dari sekian penolakan dan keberjarakannya, aku merasa temanku ini sedang mengatakan hal yang serupa. Walau tak pasti apa penyebabnya, yang pasti aku sudah siap mundur teratur.

Besok adalah acara penting dalam hidupnya. Ia tak mengundang. Memberi tahupun karena tak sengaja. Aku tidak ingin berpikiran buruk karena toh akhirnya ia memberi tahu teman kami yang lain. Namun, tetap tanpa undangan. Aku, yang keburu antusias, menawarkan diri datang karena begitu yakin diharapkan. Sedang teman kami yang lain mengatakan, “aku lebih baik tidak datang.” Saat itu aku mulai ragu lagi ingin datang atau tidak.

Ku pikir semua teman punya harga diri ini; hak untuk dibutuhkan. Ketika hal ini terusik, sesakit apapun, orang akan mulai mengambil langkah mundur. Dan dalam proses itu, tak akan pernah ada pembicaraan atau komunikasi. Semua akan berpikir, teman yang lain masih banyak. Setelah sms saya tadi siang tidak dibalas, aku memutuskan meng-sms lagi. Bertanya kapan acaranya dimulai. Kali ini ia menjawab. Ku pikir, tidak mungkin tidak datang bila sudah bertanya begini.

Selesai mengobrak abrik toko buku kecil itu, aku bergegas ke pusat perbelanjaan karena janji dengan teman lain. Kami sibuk berkeliling karena ia membutuhkan banyak keperluan kampus. Aku dan teman kosnya sibuk mengusulkan dan mengkritisi pilihannya karena ia tampak tak lagi fokus memilih. Kuliah barunya memang menyita waktu dan tenaga. Tak heran, ketika punya waktu belanja, ia sangat terburu2. Selesai tempat itu tutup, kami menuju motor masing-masing dan pulang bahkan tak ada ucapan selamat tinggal. Ketika sampai kos dan membuka twitter, ada ucapan terima kasih darinya untukku dan teman kosnya karena sudah menemaninya belanja. Saat itu aku ingin berkata, seharusnya aku yang berterimakasih karena telah membuat aku lebih berarti dan merasa dibutuhkan.

Bagiku, mungkin begitulah pertemanan. Kadang bukan lagi masalah minta perhatian tapi merasa dibutuhkan lebih penting lagi. Aku memutuskan berangkat ke acara temanku yang satu ini walau aku tak berani membayangkan akan diperlakukan apa aku besok. Ia tak mengatakan datang lebih awal untuk membantunya. Aku tetap akan datang. Memberi satu kesempatan lagi. Bukan untuknya. Tapi untuk ku dan persahabatan kami. Untuk membuktikan apakah kata “dulu” memang sudah patut disematkan atau tidak. Untuk membuktikan teman seperti apa aku kelak.

22/10/2010

11: 54 pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar