Memandang Layar

need to be written

Selasa, 24 Mei 2011

Karimun Jawa untuk Memulai Hidup yang Semua Orang Bilang Harus Baru






Eskapisme memang nyandu untuk sebagian besar orang. Eskapisme dari apapun, bahkan hidup dan diri sendiri. Mungkin itu alasan terkuatku berlibur walau sangat tak tepat waktu. Lulus akhir April kemarin praktis membuatku harus kembali masuk ke ranah tak mengenakkan semua orang; Mencari kepastian hidup alias status baru. Menaruh embel2 di setiap biography dan harus menjinjing identitas sosial itu kemana-mana; pekerjaan.

Berkat seorang teman, aku bisa menghasilkan sedikit uang modal liburanku. Itu saja. Dan berkat seorang teman, aku bisa pergi ke pulau jauh. Mengasingkan diri sejenak dari diriku yang lama demi ada cerita baru. Aku bukan tipe petualang namun senang melakukannya. DI pulau yang harus ditempuh empat jam dengan kapal cepat dari Semarang itu memungkinkanku untuk hanya menikmati hidup. Menikmati apapun yang disajikan di depanku dan bersenang-senang. Dua hari. Tak lebih.

Aku senang akhirnya bisa ke sana. Membuatku menyadari satu hal. Melihat teman-teman yang sibuk memilih pekerjaan sesuai hati nurani dan mimpi, aku bingung karena tetap tak memilih keduanya. Setiap kali orang bertanya, aku menjawab. “Apa saja.” Itu bukan jawaban malas, namun memang hanya sejauh itu pemikiranku. Apa

saja. Berjalan dan bercerita dengan teman seperjalananku membuatku tersadar. Pekerjaan bukanlah hidupmu dan hidup bukanlah melulu pekerjaan. Mungkin aku akan memulai seperti temanku, mengerjakan apapapun agar bisa kembali menikmati hari-hari singkat beberapa kali setahun seperti yang kami lakukan di pulau itu. Seperti biasa, setelah liburan, rencana-rencana baru dimulai; tempat yang lebih jauh, lebih indah, lebih menantang. Untuk melakukan semua itu pastinya aku memerlukan tabungan. Dan untuk itu aku bekerja. Yah, sesederhana itu dulu. Banal mungkin, tapi semua tetap butuh alasan.

Sedikit tentang tempat yang saya kunjungi. Yang paling mengherankan dari tempat ini adalah, seperti rumah saya yang jauh di anta baranta, mengapa mereka tetap bertahan di pulau yang listrik hanya hidup pada malam hari dan tanah yang habis dua jam dikelilingi? Teman-temanku semuanya ke ibukota, beberapa beranggapan uang menumpuk di sana. Namun, pertanyaan selanjutnya apakah penghidupan yang layak juga? Aku sempat tergoda sebenarnya namun lagi-lagi karena pulau kecil ini aku jadi berpikir, mungkin harus mengikut jawaban sederhana orang-orang kampus, “lumbung berasnya di sini” setiap kali bertanya bagaimana mereka sampai ke pelosok2 hanya untuk tinggal. Aku akan melakukan hal yang serupa. Memilih bukan hakku untuk saat ini, berusaha mendapatkan dan akhirnya bersyukur adalah priviledge terjauhku. Jadi mari.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar